ποΈ Pendahuluan
Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius, karena menyangkut martabat, integritas, dan kebebasan individu. Di Indonesia, kasus kekerasan seksual semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik di ranah publik maupun domestik.
Sebagai negara hukum, Indonesia berupaya memberikan perlindungan hukum yang komprehensif kepada korban melalui pembaruan regulasi, seperti lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Undang-undang ini menjadi tonggak sejarah baru dalam upaya negara menegakkan keadilan berbasis korban.
βοΈ Pengertian Kekerasan Seksual
Menurut UU TPKS Pasal 1, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menyerang, atau menyakiti tubuh, hasrat seksual, fungsi reproduksi seseorang secara paksa atau tanpa persetujuan korban.
Kekerasan ini dapat berupa:
- Fisik, seperti pemerkosaan, pelecehan tubuh, atau pemaksaan hubungan seksual.
- Verbal, seperti ucapan bernuansa seksual yang melecehkan.
- Psikologis, seperti ancaman atau tekanan seksual.
- Digital, seperti penyebaran konten intim tanpa izin (revenge porn).
Dengan demikian, kekerasan seksual tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga dapat terjadi di ruang digital dan sosial.
π Dasar Hukum Penanganan Kekerasan Seksual
Sebelum lahirnya UU TPKS, pengaturan tentang kekerasan seksual masih tersebar di beberapa undang-undang, seperti:
- KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) β mengatur tindak pidana perkosaan dan perbuatan cabul (Pasal 285β289).
- UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014.
- UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) No. 23 Tahun 2004.
Namun, ketentuan tersebut belum mampu memberikan perlindungan menyeluruh, terutama bagi korban.
UU TPKS kemudian hadir sebagai regulasi payung (umbrella act) untuk menutup kekosongan hukum dan memperluas definisi kekerasan seksual di luar pemerkosaan semata.
βοΈ Jenis-Jenis Tindak Pidana dalam UU TPKS
UU TPKS mengatur secara rinci berbagai bentuk kekerasan seksual, di antaranya:
- Pemaksaan hubungan seksual.
- Pemaksaan perkawinan.
- Penyiksaan seksual.
- Eksploitasi seksual.
- Pelecehan seksual fisik maupun nonfisik.
- Perdagangan orang untuk tujuan seksual.
- Penyebaran konten intim tanpa persetujuan korban.
- Kekerasan seksual berbasis elektronik (digital sexual violence).
UU ini juga memperkenalkan konsep pidana tambahan seperti restitusi bagi korban dan rehabilitasi wajib bagi pelaku.
π©ββοΈ Perlindungan dan Hak Korban
UU TPKS memberikan perhatian besar terhadap korban dengan prinsip βberpusat pada korban (victim-centered approach)β.
Hak-hak korban meliputi:
- Hak atas perlindungan fisik dan psikis.
- Hak atas bantuan medis dan psikologis.
- Hak atas pendamping hukum dan advokasi.
- Hak atas ganti rugi atau restitusi.
- Hak untuk tidak disalahkan atau distigmatisasi.
Selain itu, negara wajib menyediakan rumah aman, layanan rehabilitasi, dan mekanisme pelaporan yang mudah bagi korban kekerasan seksual, termasuk melalui lembaga seperti LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
βοΈ Proses Penegakan Hukum
Dalam menangani kasus kekerasan seksual, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) harus berpedoman pada prinsip:
- Kerahasiaan identitas korban.
- Pemeriksaan dengan pendekatan empatik.
- Prioritas pada keselamatan dan pemulihan korban.
- Larangan mediasi penal (tidak boleh didamaikan).
Proses hukum juga melibatkan kerja sama antar lembaga, seperti Kementerian PPPA, Komnas Perempuan, dan LPSK, untuk memastikan keadilan dan perlindungan maksimal bagi korban.
π‘ Tantangan Penegakan UU TPKS
Meski sudah memiliki payung hukum yang kuat, penerapan UU TPKS masih menghadapi sejumlah kendala:
- Budaya patriarki dan victim blaming yang membuat korban enggan melapor.
- Kurangnya pemahaman aparat hukum terhadap pendekatan berbasis korban.
- Minimnya fasilitas dan tenaga pendamping profesional.
- Kasus kekerasan digital yang sulit dibuktikan karena keterbatasan bukti elektronik.
Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan pendidikan hukum publik, pelatihan aparat, dan kolaborasi lintas lembaga dalam penegakan hukum yang sensitif gender.
π§ Perspektif Hak Asasi Manusia
Kekerasan seksual bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia fundamental.
Pasal 28G UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman kekerasan.
Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk mencegah, menindak, dan memulihkan korban kekerasan seksual melalui kebijakan yang adil dan berkeadilan gender.
π§© Kesimpulan
Kehadiran UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan langkah monumental dalam sejarah hukum Indonesia.
Hukum kini tidak hanya berorientasi pada penghukuman pelaku, tetapi juga pada pemulihan korban dan pencegahan kekerasan di masa depan.
Namun, agar efektif, implementasinya harus disertai perubahan paradigma sosial β dari budaya menyalahkan korban menuju budaya menghormati martabat manusia.
Dengan demikian, penegakan hukum terhadap kekerasan seksual menjadi wujud nyata dari cita-cita keadilan sosial dan kemanusiaan dalam negara hukum Indonesia.